Melacak Sejarah Perkembangan Ilmu Qirā’at dan Klasifikasinya
Main Article Content
Abstract
The history of qirā’at development represents a long journey in shaping the recitation of the Qur’an, reflecting the intellectual richness within the Islamic tradition. In the early period, qirā’at emerged as a response to the challenges of preserving the purity and authenticity of the sacred text. Prophet Muhammad, as the recipient of revelation, implored Allah for the Qur’an to be revealed in seven different dialects, giving rise to the term “nuzila al-Qur’an ‘ala sab’ati ahrūf.” This event subsequently led to the diversity of qirāat present in society, including the existence of the seven, ten, and fourteen imams. The process of qirā’at diversity development was also influenced by geographical, social, and cultural factors, resulting in variations in pronunciation and intonation when reciting the Qur’an. In later periods, efforts towards standardization were made to avoid potential differences that could lead to conflicts. The significance of qirā’at history is evident in the preservation of this tradition through the sanad system, connecting generations of Qur’an reciters. Today, the evolution of qirā’at continues to progress, facilitated by technology that supports learning and research in this field. Therefore, a profound understanding of the history of qirā’at development not only enriches religious insights but also remains an integral part of the intellectual and cultural heritage of Islam.
Downloads
Article Details

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
References
Sejarah perkembangan qirā’at merupakan perjalanan panjang pengembangan bacaan al-Qur’an yang mencerminkan kekayaan warisan intelektual dalam tradisi Islam. Dalam periode awal, qirā’at muncul sebagai respons terhadap tantangan dalam menjaga kesucian dan keaslian teks suci al-Qur’an. Dalam hal ini nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu memohon kepada Allah Swt agar al-Qur’an tidak hanya diturunkan dengan satu huruf (dialek). Hal ini kemudian yang melahirkan adanya terma “nuzila al-Qur’an ‘ala sab’ati ahrūf”. Hal inilah yang kemudian juga memicu timbulnya keragaman qirā’at yang ada di masyarakat baik keberadaan imam tujuh, sepuluh, maupun empat belas. Proses perkembangan keragaman qirā’at juga dipengaruhi oleh faktor geografis, sosial, dan budaya. Hal ini menghasilkan variasi dalam melafalkan kata-kata dan nada dalam membaca al-Qur’an. Pada periode selanjutnya, upaya standarisasi dilakukan untuk menghindari potensi perbedaan yang dapat menimbulkan konflik. Pentingnya sejarah qirā’at juga tercermin dalam pemeliharaan tradisi ini melalui sistem sanad (rantai sanad) yang menghubungkan generasi pembaca al-Qur’an. Hari ini, perkembangan qirā’at masih terus berkembang, terutama dengan adanya teknologi yang memfasilitasi pembelajaran dan penelitian dalam bidang ini. Dengan demikian, pemahaman mendalam tentang sejarah perkembangan qirā’at tidak hanya memperkaya wawasan keagamaan, tetapi juga menjadi bagian integral dari warisan intelektual dan budaya Islam.